Sponsor

Thursday, March 3, 2016

PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM TAUHID

PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM TAUHID

1    Tauhid Rububiyah. Tauhid Rububiyah yaitu mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk-Nya. Dan alam semesta ini diatur oleh Mudabbir (Pengelola), Pengendali Tunggal, Tak disekutui oleh siapa dan apapun dalam pengelolaan-Nya. Allah menciptakan semua makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musrik yang menyekutukan Allah dalam ibadahnya juga mengakui keesaan rububiyah-Nya. Jadi jenis tauhid ini diakui semua orang. Bahkan hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakui-Nya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lainnya. Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap meyakini-Nya.
Alam semesta dan fitrahnya tunduk dan patuh kepada Allah. Sesungguhnya alam semesta ini (langit, bumu, planet, bintang, hewan, pepohonan, daratan, lautan, malaikat, serta manusia) seluruhnya tunduk dan patuh akan kekuasaan Allah. Tidak satupun makhluk yang mengingkari-Nya. Semua menjalankan tugas dan perannya masing-masing, serta berjalan menurut aturan yang sangat sempurna. Penciptanya sama sekali tidak mempunyai sifat kurang, lemah, dan cacat. Tidak satupun dari makhluk ini yang keluar dari kehendak, takdir, dan qadha’-Nya. Tidak ada daya dan upaya kecuali atas izin Allah. Dia adalah Pencipta dan Penguasa alam, semua adalah milik-Nya. Semua adalah ciptaan-Nya, diatur, diciptakan, diberi fitrah, membutuhkan, dan dikendalikan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (Q.S. Al-Fatihah : 1)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau adalah Rabb di langit dan di bumi” (Mutafaqqun ‘Alaih)

Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya Tauhid Uluhiyah. Hal ini berarti siapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah. Dan itulah yang disebut Tauhid Uluhiyah. Jadi tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah. Jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah. Maka tauhid rububiyah adalah pintu gerbang dari tauhid uluhiyah.

 2.     Tauhid Uluhiyah.
Tauhid Uluhiyah yaitu ibadah. Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyariatkan seperti doa, nadzar, kurban, raja’ (pengharapan), takut, tawakal, raghbah (senang), rahbah (takut), dan inabah (kembali atau taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul. Disebut demikian, karena tauhid uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh nama-Nya, “Allah” yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah), dan juga karena tauhid uluhiyah merupakan pondasi dan asas tempat dibangunnya seluruh amal. Juga disebut sebagai tauhid ibadah karena ubudiyah adalah sifat ‘abd (makhluknya) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena ketergantungan mereka kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah : 163)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maka hendaklah apa yang kamu dakwahkan kepada mereka pertama kali adalah syahadat bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah” (Mutafaqqun ‘Alaih). Dalam riwayat Imam Bukhari,“Sampai mereka mentauhidkan Allah”.

Manusia ditentukan oleh tingkatan din. Din sendiri berarti ketaatan. Di bawah ini adalah tingkatan din :
  • Islam
Islam menurut bahasa adalah masuk dalam kedamaian. Sedangkan menurut syara’, Islam berarti pasrah kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya,  taat, dan membebaskan diri dari syirik dan pengikutnya.
  • Iman
Iman menurut bahasa berarti membenarkan disertai percaya dan amanah. Sedangkan menurut syara’, iman berarti pernyataan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan perbuatan dengan anggota badan.
  • Ihsan
Ihsan menurut bahasa berarti kebaikan, yakni segala sesuatu yang menyenangkan dan terpuji. Sedangkan menurut syara’ adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh baginda Nabi yang artinya “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bias melihay-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata “Ihsan itu mengandung kesempurnaan ikhlas kepada Allah dan perbuatan baik yang dicintai oleh Allah”.

Rasulullah menjadikan din itu adalah Islam, Iman, dan Ihsan. Maka jelaslah bahwa din itu bertingkat, dan sebagian tingkatannya lebih tinggi dari yang lainnya. Tingkatan yang pertama adalah Islam, tingkatan yang kedua adalah Iman, dan tingkatan yang paling tinggi adalah Ihsan.

1.Tauhid Asma’ Wa Sifat. Tauhid Asma’ Wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an dan Sunah Rasul-Nya. Maka barang siapa yang mengingkari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya atau menamai Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya atau menakwilkan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan Rasulnya.
Allah Ta’ala berfirman
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syuura : 11)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam” (Mutafaqqun ‘Alaih). Di sini turunnya Allah tidak sama dengan turunnya makhluk-Nya, namun turunnya Allah sesuai dengan kebesaran dan keagungan dzat Allah.


Sifat-sifat Allah dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
  • Sifat Dzatiyah
Sifat Dzatiyah yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini berpisah dengan dzat-Nya. Seperti berilmu, kuasa atau mampu, mendengar, bijaksana, melihat, dll.
  • Sifat Fi’liyah
Sifat Fi’liyah adalah sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti bersemayam di atas ‘Arasy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir malam, dan dating pada Hari Kiamat.

Tauhid asma’ wa sifat ini juga berpengaruh dalam bermuamalah dengan Allah. Di bawah ini contoh-contohnya :
  • Jika seseorang mengetahui asma’ dan sifat-Nya, juga mengetahui arti dan maksudnya secara benar maka yang demikian itu akan memperkenalkannya dengan Rabbnya beserta keagungan-Nya. Sehingga ia tunduk, patuh, dan khusyu’ kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, serta bertawassul kepada-Nya.
  • Jika ia mengetahui jika Rabbnya sangat dahsyat azab-Nya maka hal itu akan membuatnya merasa diawasi Allah, takut, dan menjauhi maksiat terhadap-Nya.
  • Jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan Bijaksana maka hal itu akan membawanya kepada taubat dan istighfar, juga membuatnya bersangka baik kepada Rabbnya dan tidak akan berputus asa dari rahmat-Nya.
  • Manusia akan mencari apa yang ada di sisi-Nya dan akan berbuat baik kepada sesamanya.

Pengertian zina,macam2,dalil dan hikmah di larangan berzina



1.Pengertian zina

Zina adalah perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan dan perkawinanSecara umum, zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala aktivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina.

2.Macam-macam zina

1. Zina al-lamam-Zina ain (zina mata) yaitu memandang lawan jenis dengan perasaan senang.
- Zina Qolbi (zina hati) yaitu memikirkan atau menghayalkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya.
- Zina Lisan (zina ucapan) yaitu membincangkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya
- Zina Yadin (zina tangan) yaitu memegang tubuh lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya
2. Zina Sebenarnya Al-Lamam (Zina Yang Sebenarnya)
- Zina muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami istri, hukumannya adalah dirajam sampai mati.
- Zina gairu muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum bersuami istri, hukumannya adalah didera sebanyak 100X dengan menggunakan rotan.
Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang berakibat akan mendapatkan sangsi yang berat bagi pelaku

3.Dalil Zina 

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
 Artinya :Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. QS. Al-Israa' (17) Ayat 32

4.Hikmah Larangan Berzina 

 A. Menjaga Kehormatan Perempuan
  Hikmah pertama dari larangan perbuatan zina adalah untuk menjaga kehormatan seorang wanita supaya        tidak menjadi barang yang diperjualbelikan. Hal tersebut dikarenakan Islam adalah agama yang sangat memuliakan manusia, baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Larangan perbuatan zina merupakan salah satu bentuk penghormatan bagi kaum wanita.

Sejak hadirnya Islam, sosok wanita menjadi makhluk yang mulia dan selalu dijaga. Mengingat pada zaman jahiliyah banyak wanita yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Bahkan mereka juga dianggap sebagai benda dan pemuas laki-laki. Bahkan pada zaman dulu, memiliki anak perempuan merupakan aib bagi sebuah keluarga. Itulah salah satu hikmah di balik haramnya berzina dalam Islam.

B. Mencegah Pencampuran Nasab
Hikmah kedua dari diharamkannya perbuatan zina adalah untuk mencegah pencampuran nasab. Apabila zina diperbolehkan maka itu berarti memasukkan anak yang bukan benih ke dalam keluarga yang nantinya akan mewarisi harta keluarganya. Tentu saja mereka akan memperlakukannya sebagai mahram padahal anak tersebut bukanlah mahramnya. Selain itu, dengan berzina juga kan melahirkan ana akibat tercampurnya nasab. Anak yang berasal dari hubungan berzina tidak bisa mendapatkan waris.

C. Mencegah Banyaknya Anak yang Terlantar
Dengan melakukan perbuatan zina, kemudian akan lahirlah anak sebagai hasil perbuatan zina tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa zina itu dilarang agar mencegah banyaknya anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya lantaran malu karena mempunyai anak hasil perzinahan. Selain itu, larangan zina juga berguna untuk melindungi bayi-bayi yang dibunuh oleh ibunya sendiri ketika masih dalam kandungan (aborsi).

D. Menjaga Keutuhan dan Ketenteraman Dalam Rumah Tangga
Hikmah larangan berzina selanjutnya adalah untuk menjaga keutuhan dan ketentraman dalam rumah tangga. Dalam hubungan suami istri, jika salah satunya melakukan perbuatan zina tentu saja akan menghancirkan keutuhan rumah tangga. Selain itu, di dalam Islam apabila salah satu dari suami atau istri melakukan zina maka itu mengisyarakat bahwa orang tersebut tidak dapat menjaga kehormatan dan wajib untuk diceraikan.

E. Sesuai Dengan Fitrah Manusia
Pengharaman zina juga sesuai dengan fitrah seorang manusia yang mempunyai rasa ghira/cemburu terhadap kehormatannya. Mereka tidak akan rela bila orang yang dicintainya menjadi barang yang diperjualbelikan dan dijadikan sebagai pemuas nafsu orang lain. Mereka tidak akan rela ibu yang dicintainya, istri, atau putri dan saudara perempuannya dizinahi oleh orang lain

F. Mencegah Penyebaran Kejahatan
Berzina ternyata dapat menimbulkan banyak masalah, salah satunya adalah kasus kejahatan. Banyak kasus yang sudah terjadi akibat dari perzinahan yang sudah dilakukan seperti pembunuhan. Hal ini dapat terjadi karena adanya perasaan cemburu dan rasa marah yang dimiliki oleh pasangan sah setelah mengetahui bahwa orang yang dicintainya tersebut ketahuan berbuat zina dengan orang lain. Untuk itulah zina tersebut dilarang, agar tidak menyebarkan kejahatan di tengah masyarakat.

G. Mencegah Penyebaran Penyakit Menular
Selain untuk mencegah penyebaran kejahatan, larangan berzina juga bertujuan agar manusia terhindar dari berbagai penyakit menular seperti HIV/AIDS. Penyakit tersebut merupakan hukuman dari Allah atas perbuatan keji yag sudah mereka lakukan.

Rasulullah bersabda, “Tidaklah tampak zina di suatu kaum, kemudian dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim dan Abu Nu’aim).

ALMAUL HUSNA (nama-nama allah yang baik)

No.NamaArabIndonesia

AllahاللهAllah
1Ar RahmanالرحمنYang Maha Pengasih
2Ar RahiimالرحيمYang Maha Penyayang
3Al MalikالملكYang Maha Merajai (bisa di artikan Raja dari semua Raja)
4Al QuddusالقدوسYang Maha Suci
5As SalaamالسلامYang Maha Memberi Kesejahteraan
6Al Mu`minالمؤمنYang Maha Memberi Keamanan
7Al MuhaiminالمهيمنYang Maha Mengatur
8Al `AziizالعزيزYang Maha Perkasa
9Al JabbarالجبارYang Memiliki Mutlak Kegagahan
10Al MutakabbirالمتكبرYang Maha Megah, Yang Memiliki Kebesaran
11Al KhaliqالخالقYang Maha Pencipta
12Al Baari`البارئYang Maha Melepaskan (Membuat, Membentuk, Menyeimbangkan)
13Al MushawwirالمصورYang Maha Membentuk Rupa (makhluknya)
14Al GhaffaarالغفارYang Maha Pengampun
15Al QahhaarالقهارYang Maha Memaksa
16Al WahhaabالوهابYang Maha Pemberi Karunia
17Ar RazzaaqالرزاقYang Maha Pemberi Rezeki
18Al FattaahالفتاحYang Maha Pembuka Rahmat
19Al `AliimالعليمYang Maha Mengetahui (Memiliki Ilmu)
20Al QaabidhالقابضYang Maha Menyempitkan (makhluknya)
21Al BaasithالباسطYang Maha Melapangkan (makhluknya)
22Al KhaafidhالخافضYang Maha Merendahkan (makhluknya)
23Ar Raafi`الرافعYang Maha Meninggikan (makhluknya)
24Al Mu`izzالمعزYang Maha Memuliakan (makhluknya)
25Al MudzilالمذلYang Maha Menghinakan (makhluknya)
26Al Samii`السميعYang Maha Mendengar
27Al BashiirالبصيرYang Maha Melihat
28Al HakamالحكمYang Maha Menetapkan
29Al `AdlالعدلYang Maha Adil
30Al LathiifاللطيفYang Maha Lembut
31Al KhabiirالخبيرYang Maha Mengenal
32Al HaliimالحليمYang Maha Penyantun
33Al `AzhiimالعظيمYang Maha Agung
34Al GhafuurالغفورYang Maha Memberi Pengampunan
35As SyakuurالشكورYang Maha Pembalas Budi (Menghargai)
36Al `AliyالعلىYang Maha Tinggi
37Al KabiirالكبيرYang Maha Besar
38Al HafizhالحفيظYang Maha Memelihara
39Al MuqiitالمقيتYang Maha Pemberi Kecukupan
40Al HasiibالحسيبYang Maha Membuat Perhitungan
41Al JaliilالجليلYang Maha Luhur
42Al KariimالكريمYang Maha Pemurah
43Ar RaqiibالرقيبYang Maha Mengawasi
44Al MujiibالمجيبYang Maha Mengabulkan
45Al Waasi`الواسعYang Maha Luas
46Al HakiimالحكيمYang Maha Maka Bijaksana
47Al WaduudالودودYang Maha Mengasihi
48Al MajiidالمجيدYang Maha Mulia
49Al Baa`itsالباعثYang Maha Membangkitkan
50As SyahiidالشهيدYang Maha Menyaksikan
51Al HaqqالحقYang Maha Benar
52Al WakiilالوكيلYang Maha Memelihara
53Al QawiyyuالقوىYang Maha Kuat
54Al MatiinالمتينYang Maha Kokoh
55Al WaliyyالولىYang Maha Melindungi
56Al HamiidالحميدYang Maha Terpuji
57Al MuhshiiالمحصىYang Maha Mengalkulasi (Menghitung Segala Sesuatu)
58Al Mubdi`المبدئYang Maha Memulai
59Al Mu`iidالمعيدYang Maha Mengembalikan Kehidupan
60Al MuhyiiالمحيىYang Maha Menghidupkan
61Al MumiituالمميتYang Maha Mematikan
62Al HayyuالحيYang Maha Hidup
63Al QayyuumالقيومYang Maha Mandiri
64Al WaajidالواجدYang Maha Penemu
65Al MaajidالماجدYang Maha Mulia
66Al WahidالواحدYang Maha Tunggal
67Al AhadالاحدYang Maha Esa
68As ShamadالصمدYang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta
69Al QaadirالقادرYang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan
70Al MuqtadirالمقتدرYang Maha Berkuasa
71Al MuqaddimالمقدمYang Maha Mendahulukan
72Al Mu`akkhirالمؤخرYang Maha Mengakhirkan
73Al AwwalالأولYang Maha Awal
74Al AakhirالأخرYang Maha Akhir
75Az ZhaahirالظاهرYang Maha Nyata
76Al BaathinالباطنYang Maha Ghaib
77Al WaaliالواليYang Maha Memerintah
78Al Muta`aaliiالمتعاليYang Maha Tinggi
79Al BarruالبرYang Maha Penderma (Maha Pemberi Kebajikan)
80At TawwaabالتوابYang Maha Penerima Tobat
81Al MuntaqimالمنتقمYang Maha Pemberi Balasan
82Al AfuwwالعفوYang Maha Pemaaf
83Ar Ra`uufالرؤوفYang Maha Pengasuh
84Malikul Mulkمالك الملكYang Maha Penguasa Kerajaan (Semesta)
85Dzul Jalaali Wal Ikraamذو الجلال و الإكرامYang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan
86Al MuqsithالمقسطYang Maha Pemberi Keadilan
87Al Jamii`الجامعYang Maha Mengumpulkan
88Al GhaniyyالغنىYang Maha Kaya
89Al MughniiالمغنىYang Maha Pemberi Kekayaan
90Al MaaniالمانعYang Maha Mencegah
91Ad DhaarالضارYang Maha Penimpa Kemudharatan
92An Nafii`النافعYang Maha Memberi Manfaat
93An NuurالنورYang Maha Bercahaya (Menerangi, Memberi Cahaya)
94Al HaadiiالهادئYang Maha Pemberi Petunjuk
95Al Badii’البديعYang Maha Pencipta Yang Tiada Bandingannya
96Al BaaqiiالباقيYang Maha Kekal
97Al WaaritsالوارثYang Maha Pewaris
98Ar RasyiidالرشيدYang Maha Pandai
99As ShabuurالصبورYang Maha Sabar

Pengertian tasawuf,unsur luar dan sejarah


Pengertian Tasawuf

Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Sufisme merupakan sebuah konsep dalam Islam, yang didefinisikan oleh para ahli sebagai bagian batin, dimensi mistis Islam; yang lain berpendapat bahwa sufisme adalah filosofi perennial yang eksis sebelum kehadiran agama, ekspresi yang berkembang bersama agama Islam.

 

Unsur tasawuf luar

 

a. Unsur Masehi

Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang digunakan para sufi adalah lambang kesederhanaan para pendeta. Dan menurut Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrhani.

b. Unsur Yunani

Metode filsafat telah masuk pada dunia dimana berkembangnya pada akhir Daulah Abbasiyah. Sehingga metode filsafat ini pun timbul mempengaruhi pola pikir orang Islam yang ingin dekat dengan sang Khaliknya yang kemudian disebut dengan tasawuf filsafat.

c. Unsur Hindhu/Budha

Salah satu maqomat Sufiah al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana dalam Agama Hindhu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adhamtokoh sufi. Dan menurut Qomar Kailani pendapat inilah yang paling ekstrim. Karena kalau diterima, berarti Agama Hindhu/Budha sudah ada di Arab sejak jaman Nabi.

d. Unsur Persia

Keterkaitan Arab dan Persia sudah semenjak lamayaitu dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatandan sastra. Namun belum ditemukan dalil yang kuat menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk pada kerohanian Arab.


 Sejarah Pekembangan Tasawuf
  1. Kelahiran Tasawuf

Kelahiran tasawuf sendiri memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.[7]

a)    Anggapan Adanya Pengaruh Ajaran Non Islam

1)   Pengaruh ajaran Kristen, yaitu adanya tulisan –tulisan tentang rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di Padang pasir Arabia atau menempati biara-biara.

2)   Pengaruh ajaan Hindu dan Budha

·           Ajaran Hindu banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekattkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman.

·           Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang budha diawajibkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi.

Dalam tasawuf dikenal dengan konsep fana’.

3)   Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal dengan zuhud.

4)   Pengaruh filsafat emanasi Plotinus, dalam konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul wujud.



b)   Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam

Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun hadits tentang ajaran tasawuf. Dalam surat Al-Baqarah: 115 dijelaskan, “Dan kepunyaan Allah-lah arah timur dan barat, maka kemanapun kalian mengarahkan (wajah kalian), di situ ada wajah Allah”. Dalam ayat lain Allah juga menerangkan, “Telah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernya”. ( Q.S. Qaff: 16). Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika seorang hamba mendekatiKu sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekatiKu sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekatiKu datang dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”.

Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri.

  1. Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam

Secara historis, tasawuf telah mengalami banyak perkembangan melalui beberapa tahap sejak pertumbuhannya hingga sekarang. Pada sejarah umat Islam, ada peristiwa tragis, yaitu terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Dari peristiwa itu, terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Akhirnya para ulama’ dan para sahabat yang masih ada, berpikir dan berikhtiar untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, mengenai hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi awal timbulnya benih tasawuf ang paling awal.[8]



1.   Abad I dan II Hijriyah

Pada tahap ini, tasawuf masih berupa zuhud. Yaitu ketika sekelompok kaum muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar kepentingan akhirat. Tokohnya antara lain:

·         Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H)

·          Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185 H).

2.   Abad III dan IV Hijriiyah

                   Pada abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata – mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.

Pada fase ini berdiri lembaga pendididkan yang khusus mengajarkan pendidikan cara hidup sufisik dalam bentuk tarekat.  Kemudian dari beberapa tokoh lain muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.[9] Tokoh-tokohnya adalah:

·           Abu Yazid Al-Busthami (w.261 H)

·           Al-Junaid

·           Al-Sari Al-Saqathi

·           Al-Kharraz

·           Al-Hussain bin Manshur Al-Hallaj (w. 309 H)

3.   Abad V Hijriyah

Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syari’ah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh yang paling terkenal adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali yang menjadi acuan para tokoh sufi lainnya.  Tokoh tasawuf pada fase ini adalah:[10]

·           Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)

·           Syaikh Ahmad Al-Rifa’i (w. 570 H)

·           Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 651 H)

·           Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili (w. 650 H)

·           Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H)

·           Ibn Atha’illah Al-Sakandari (w. 709 H)



4.   Abad VI Hijriyah

Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayalan. Dalam aliran ini para sufi lebih mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah. Perhatian mereka sangat tertuju pada aspek ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Para tokohnya antara lain:[11]

·           Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi ( 560 – 638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya.

·           Al-Syuhrawardi Al-Maqtul (549 – 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya.

·           Umar ibn Al-Faridh (w. 632 H)

·           Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in (w. 669 H)